Saya pernah mendengarkan suatu statement
dari salah satu peramal di televisi yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya setiap
orang memiliki Indra Keenam. Hanya saja, beberapa orang di antara mereka lebih
peka menangkap sinyal-sinyal dari lingkungannya dan bisa mengasah kemampuan Indra
Keenam-nya. Sedangkan sebagian yang lain hanya menerima sinyal-sinyal tersebut
sambil lalu dan tidak peka terhadap Indra Keenam-nya”. Entah Indra Keenam atau
bukan, yang jelas saya merasakan ada hal yang aneh pada diri saya, dan ini
berlangsung selama beberapa kali. Saya lebih suka menyebutnya sebagai black feeling, karena feeling tersebut memprediksikan atau
menggambarkan hal yang negatif mengenai orang lain yang tidak saya inginkan,
dan saya juga tidak ingin bahwa “kemampuan” itu selalu “membayangi” saya. Black feeling yang saya maksudkan di
sini ialah perasaan yang sangat yakin atau men-judge bahwa seseorang akan meninggal saat itu juga. Sesungguhnya
saya merasa berdosa saat mengatakan dalam hati, “meninggal”, dan orang yang
saya maksudkan benar-benar meninggal. Seolah saya yang menentukan kapan
seseorang tersebut akan meninggal, bahkan saya terkesan “menyuruh” agar orang
tersebut meninggal. Memang seram, tetapi itulah hal mistis yang pernah saya
alami.
Pertama kalinya saya merasakan black
feeling ialah saat Ibu dari salah satu sahabat saya meninggal dunia. Satu
minggu sebelum hari “keberangkatan” beliau, saya tahu bahwa beliau sedang sakit
dan sudah keluar masuk Rumah Sakit beberapa kali. Dua hari sebelum hari “keberangkatan”
beliau, saya sudah mem-planning-kan
bahwa besok harus datang menjenguk. Entah kenapa saya sangat ingin menjenguk,
dalam batin saya berkata, “Besok lo harus jenguk Nyokap sahabat lo”. Tetapi
karena lokasi yang sangat jauh dan tidak ada teman untuk pergi ke sana,
akhirnya saya membatalkan “panggilan hati” tersebut. Malam harinya saya
bermimpi bahwa saat petang saya menggayuh sepeda ke rumah sahabat saya tersebut
karena Ibunya sudah pulang dari Rumah Sakit. Lokasi yang sangat jauh pun saya
tempuh tanpa rasa lelah, bahkan secara logika tidak mungkin saya menggayuh
sepeda sejauh itu. Dalam perjalanan pergi, saya berpapasan dengan para Senior
saya di kampus yang sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sahabat saya
tersebut. Kondisinya sangat ramai, namun saya hanya melihat dengan jelas
segerombolan Senior saya di kampus. Sampai di rumah sahabat saya, saya pun
bertemu wajah dengan Ibu dari sahabat saya. Meski saya tidak mengenal wajahnya
dan di dalam mimpi tersebut pun tidak jelas bagaimana wajahnya, namun beliau
sangat gembira saat melihat saya datang. Wajahnya yang ramah mempersilahkan
saya untuk masuk ke rumah mereka, padahal saya juga belum pernah menginjakkan
kaki di rumah tersebut. Dalam mimpi tersebut saya melihat bahwa Ibu dari
sahabat saya tersebut sudah segar bugar karena sudah keluar dari Rumah Sakit. Lalu
saya terbangun dari mimpi saya yang jalan ceritanya tidak finish tersebut. Keesokan harinya, sekitar pukul 14.00 WIB, saya
mendapat telepon dari sahabat saya yang lain, dia mengabarkan bahwa Ibu dari
sahabat saya tersebut meninggal dunia. Saat itu saya sangat menyesal karena
tidak menjenguk beliau (meski tidak kenal dekat, bahkan belum pernah bertemu
sama sekali). Saya mengabaikan “panggilan hati” yang ternyata mengisyaratkan “sesuatu”.
Saat malam harinya saya datang melayat bersama dengan sahabat-sahabat saya
yang lain, saya pun menceritakan mimpi saya kepada sahabat saya yang berduka
tersebut. Dia membenarkan bahwa sebenarnya Ibunya sudah sempat pulang ke rumah
karena kondisinya sudah sehat, tetapi penyakit beliau kambuh di rumah dan tidak
sempat dibawa ke Rumah Sakit kembali. Setelah saya pikir-pikir, mimpi tersebut
memang bermakna “sesuatu”. Ternyata kumpulan orang-orang yang datang untuk
bersukacita karena Ibu dari sahabat saya tersebut telah pulang dari Rumah Sakit
bukan datang untuk merayakan karena beliau sudah pulang ke rumah, tetapi untuk
berbela sungkawa karena beliau telah “pulang” ke tempat peristiharahatannya
yang terakhir. Dan kedatangan saya dengan bersepeda saat petang dan berpapasan
dengan para Senior yang sedang berjalan pulang dari rumah sahabat saya
tersebut, mengartikan bahwa saya memang datang saat semua pelayat sudah pulang.
Mengingat ada acara lain yang harus kami hadiri sejak siang sampai malam, kami
sampai di rumah sahabat saya tersebut sekitar pukul 11 malam.
Kedua kalinya saya merasakan black
feeling ialah saat Ibu dari teman satu kelas saya meninggal dunia. Teman
saya tersebut mengganti-ganti Display
Picture di Smart Phone-nya selama
4 hari berturut-turut, dan Personal
Message-nya dengan kata-kata penyemangat untuk Ibunya, sehingga kami tahu
bahwa Ibunya sedang berada di Rumah Sakit. Saat itu saya “mati rasa” dan masa
bodoh, di benak saya berkata, “ah, paling Ibunya cuma sakit biasa”. Beberapa
hari kemudian salah satu teman sekelas kami mengabarkan bahwa tadi dia sudah
menjenguk Ibu dari teman saya tersebut. Teman-teman satu kelas pun segera rapat
di Smart Phone untuk menentukan kapan
menjenguk beliau, naik kendaraan apa, berkumpul dimana, siapa saja yang ingin
ikut, dan lain sebagainya. Jujur, saat saya mendengar kabar bahwa ada teman
saya yang lain sudah menjenguk, saya pun merasa ingin menjenguk karena ada
“panggilan hati” yang mengisyaratkan “sesuatu”. Kalau boleh jujur, sebenarnya
saya adalah orang yang paling cuek ketika mendengar kabar bahwa orang lain
sedang sakit dan saya sangat jarang untuk menjenguk orang sakit. Jadi saat
pertama kali melihat Display Picture
teman saya yang menggambarkan bahwa Ibunya sedang dirawat di Rumah Sakit, saya
merasa bahwa tidak ada “sesuatu” yang perlu dikhawatirkan. Pada malam hari saat
teman-teman saya rapat di Smart Phone
, teman saya mengganti Display Picture
lagi, Display Picture yang pernah
saya lihat kemarin-kemarin. Di Display
Picture tersebut saya melihat bahwa beliau sedang menggunakan Selang
Oksigen sambil tertidur dan saya langsung berkata di dalam hati, “meninggal”. Padahal
saat kemarin-kemarin teman saya mengganti Display
Picture dengan foto tersebut, perasaan saya datar-datar saja, tidak ada
“sesuatu” yang patut dikhawatirkan. Setelah 2 jam pembicaraan panjang dalam
rapat di Smart Phone pun kami
mendengar kabar bahwa beliau sudah “dijenguk Tuhan” sebelum kami menjenguknya.
Ketiga kalinya saya merasakan black
feeling ialah saat Ayah dari senior saya di kampus meninggal dunia. Malam
itu ia mengganti Display Picture di Smart Phone-nya dan Personal Message-nya dengan kata-kata penyemangat untuk Ayahnya. Display Picture di Smart Phone tersebut menggambarkan seorang pria yang sedang
menggunakan Selang Oksigen sambil tertidur. Entah mengapa saya langsung berkata
di dalam hati, “meninggal”. Sekitar 2 jam kemudian saya melihat Personal Message-nya berubah menjadi
“Selamat jalan Papa”.
Pada kasus kedua dan ketiga (Ibu dari teman saya dan Ayah dari Senior saya),
saya melihat Display Picture yang
sama. Beliau menggunakan Selang Oksigen sambil tertidur di kasurnya, tanpa ada
objek gambar yang menjelaskan bahwa beliau sedang tidur di Ruang ICU (Intensive Care Unit) atau tidak. Namun
semua orang yang berada di Rumah Sakit pasti tidak selalu mengalami penyakit
yang serius jika ia menggunakan Selang Oksigen. Dalam arti, keberadaan Selang
Oksigen yang ditempelkan di hidung pasien tidak mengindikasikan bahwa pasien
kekurangan udara atau sesak nafas lalu meninggal. Keberadaan Selang Oksigen di
hidung pasien juga tidak mengindikasikan bahwa pasien tersebut mengidap penyakit
yang parah. Bahkan pasien yang ingin menghirup Oksigen dari tabung meski tidak
mengalami sesak juga diperbolehkan, tetapi akan ada tambahan biaya untuk
membayar Oksigen tersebut. Dan usia dari beliau (Ibu dari teman saya dan Bapak
dari Senior saya) pun tidak mengindikasikan bahwa mereka pantas untuk meninggal
di usia demikian, usia 40 tahunan dan 60 tahunan. Karena usia manusia tidak
dapat ditentukan oleh siapapun, bahkan anak yang baru lahir satu hari pun bisa
meninggal dunia, tidak hanya mereka yang sudah manula yang harus meninggal
dunia. Pada kasus kedua dan ketiga pun saya tidak tahu mengenai riwayat
penyakit beliau (Ibu dari teman saya dan Bapak dari Senior saya), karena pada
dasarnya saya tidak pernah terlibat obrolan serius mengenai penyakit beliau.
Tetapi black feeling menghadirkan
“kemampuan” yang aneh pada diri saya, meski hanya beberapa kali dan entah
sampai kapan.
Di sisi lain, saya juga mengalami hal yang kontradiktif dengan black feeling. Saat saya mengantarkan
Ibu saya ke sebuah Rumah Sakit untuk dirawat inap, para pasien yang baru datang
secara otomatis akan ditempatkan di Ruang UGD (Unit Gawat Darurat), kemudian
dicek oleh para Tenaga Medis mengenai kondisi dan riwayat sakit pasien, lalu
pasien ditempatkan ke kamar inap untuk melanjutkan perawatan. Saat Ibu saya
menjalani pemeriksaan, tiba-tiba ada seorang Ibu yang menangis histeris masuk
ke dalam Ruang UGD. Ia menggendong anaknya yang masih balita, yang sedang sesak
nafas sampai kejang-kejang, sepertinya anak tersebut terkena Step (demam tinggi
sampai menimbulkan kejang-kejang). Secara refleks, beberapa Tenaga Medis
langsung memberikan pertolongan, mulai dari tabung oksigen dan selangnya,
sampai memasukkan jarum untuk infus. Karena pertama kali melihat hal yang
demikian, saya pun merasa sangat ketakutan, jantung saya berdegup kencang,
ditambah lagi Ibu dari anak tersebut menangis histeris karena sangat takut.
Jujur, saya takut anak tersebut tidak tertolong. Namun di dalam hati saya
berkata, “Gak”, artinya anak tersebut tidak akan “pulang” saat itu juga, anak
itu akan selamat. Benar saja, anak tersebut tidak kejang-kejang lagi setelah 20
menit ditangani oleh Tim Medis. Entah apa yang dilakukan oleh Tim Medis, yang
jelas saya sangat bersyukur ketika ritme jantung balita 1 tahun itu sudah
kembali normal. Hal lainnya, ketika saya melihat foto dari Senior saya yang
masuk ICU (Intensive Care Unit) karena
kecelakaan motor sampai beberapa kali operasi tulang, saya tidak merasakan ada
“sesuatu” selain rasa kasihan (mengingat Senior saya yang satu itu adalah orang
baik-baik). Saya tidak merasakan black
feeling meskipun pada faktanya kecelakaan juga dapat merenggut nyawa manusia
dengan seketika, tidak hanya penyakit parah saja yang dapat merenggut nyawa
manusia. Saya tidak merasakan black
feeling meskipun saya mendengar kabar bahwa dia sempat tidak sadarkan diri
selama 1 hari, kemudian menjalani 10 jam operasi tulang, membutuhkan transfusi
darah, dan beberapa minggu perawatan di Rumah Sakit. Saat saya menjenguk pun
dia tidak bisa berbicara, hanya tidur dan mendengar para penjenguk yang
berbicara.
Dari beberapa kejadian di atas, yang saya pergumulkan adalah ada energi
yang kuat dan pasti saat saya mengatakan “Gak” dan “Meninggal” di dalam hati
saya, seolah ada tekanan feeling yang
keluar dari tubuh saya. Namun tidak semuanya “kepulangan” bisa saya prediksi
dengan black feeling. Sebagai contoh,
Ayah dari sahabat saya tiba-tiba saja meninggal. Memang ternyata beliau
mengidap penyakit jantung yang terlambat dideteksi. Semenjak saya mengetahui
bahwa beliau sudah berkali-kali keluar masuk Rumah Sakit, saya ingin menjenguk,
tetapi tidak ada “panggilan hati” yang
sangat mendesak seolah ingin mengisyaratkan “sesuatu”. Sekitar satu minggu
setelah merencanakan untuk menjenguk, kami mendengar kabar bahwa kami harus ke
Kabupaten lain untuk melayat beliau, bukan menjenguk beliau. Kondisi yang sama
pun berlaku dengan Ibu dari sahabat saya yang sudah pulang ke rumah karena
sudah sehat, tetapi akhirnya meninggal di tempat lain dan bukan di Rumah Sakit.
Contoh lainnya ialah tetangga saya yang saya kasihi, yaitu Pakde Reno, suami
dari Bude Reno. Saya sempat menjenguk ke rumahnya, bukan karena ada black feeling, tetapi karena saya rindu
untuk bertemu sekaligus ingin memastikan bagaimana kondisinya karena selama ini
saya hanya bisa mendengar kabar yang beredar dari mulut ke mulut.
Sesungguhnya saya merasa takut dan horror karena black feeling yang saya miliki, lalu saya pun menceritakan kepada Sang
Pria Terkasih. Dia hanya menyebutkan satu kalimat sakti, “Jangan melangkahi
Tuhan, umur itu kan Tuhan yang tentukan”, saat saya menceritakan hal mistis
yang saya alami. Memang benar, umur di tangan Tuhan, hidup dan mati juga sudah
diatur oleh Tuhan. Mungkin manusia bisa memiliki black feeling atau firasat atau pertanda, atau indra keenam atau apapun
namanya, namun keputusan terakhir berada di tangan Tuhan dan bukan di tangan
manusia. Seperti black feeling yang
saya alami, itu hanyalah “sinyal” yang saya terima dari lingkungan atau bahkan
“sinyal” yang diterima oleh suara hati saya. Bukannya saya yang menentukan
bahwa orang tersebut akan meninggal atau harus meninggal saat itu juga. Tetapi saya
malah merasa sangat berdosa karena hanya dengan melihat foto, saya bisa
menentukan bahwa ia akan meninggal. Apapun namanya, black feeling atau pertanda atau firasat atau indra keenam atau ramalan,
saya tidak akan bisa mengubah apa yang sudah Tuhan perintahkan untuk terjadi. Karena
black feeling yang saya miliki hanya keluar
di detik-detik terakhir, satu minggu bahkan dua jam sebelum beliau-beliau “menghadap”
Tuhan. Artinya, ketika saya memiliki firasat, hal itu hanya menginformasikan
kepada saya sendiri bahwa beliau-beliau akan dipanggil Tuhan, saya tidak punya
wewenang untuk memberitakan kepada orang lain bahwa beliau-beliau akan “berpulang”,
bahkan saya tidak dapat menghentikan atau membatalkan maut yang menjemput
dengan adanya black feeling. Karena semua
yang saya terima hanyalah “berita”, tanpa ada wewenang untuk mengganti “isi
berita”.
Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar